Rabu, 27 Januari 2016

keadaan kerajaan sunda

KERAJAAN SUNDA


1.      Pusat Kerajaan Sunda yang berpindah-pindah
Pusat kerajaan yang berpindah-pindah, bukanlah hal yang asing di dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pemindahan pusat-pusat kerajaan itu, disebabkan oleh berbagai macam alasan, yaitu ekonomi, keamanan, politik, dan lain-lain. Perpindahan itu juga disebabkan karena adanya bencana alam. Di Jawa Barat juga terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan. Barangkali, sebernarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja setelah keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII M, sedangkan nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan adalah nama ibukota atau pusat kerajaan tersebut.
A.    Pusat Kerajaan Galuh
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Sunda masa lampau adalah masyarakat ladang yang senantiasa berpindah-pindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah garapan mereka, maka terjadinya perpindahan pusat kerajaan ini pun, berhubungan dengan latar belakang sosial dan budaya. Jika dugaan itu benar, maka kerajaan Sunda telah beberapa kali berpindah pusat kerajaan yang dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan Padjajaran.
Sebelum kita menyimpulkan apa gerangan nama kerajaan di Jawa Barat, ada baiknya jika melihat sebutan apa yang dikenal di luar Jawa Barat. Menurut berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), menyebut kerajaan yang berkuasa di Jawa Barat dan mengadakan hubungan dagang dengan Portugis “Regno de Cumba”  yang berarti kerajaan Sunda pada abad XVI. Demikian pula berita Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai daerah yang banyak menghasilkan lada. Juga dari beberapa sumber asli yang turut menyebutkan keberadaan kerajaan Sunda, sumber asli tersebut antara lain, adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat tahun 932 M, ditemukan di desa Kebon Kopi Bogor, kutipannya yang berbunyi “memulihkan raja Sunda”. Sumber kesusastraan, Cerita Parahyangan akhir abad XVI menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Demikian pula naskah Siksa Kanda ng Karesian tahun 1518 M, juga berita dari Cina zaman Dinasti Ming ( 1368-1643 M) menyebut adanya Sun-la. Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Jawa Barat umumnya dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama lain yang berhubungan dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan.
Menurut naskah Kropak 406, Maharaja Terusbawa digantikan oleh Maharaja Harisdarma kemudian Harisdarma berputra Rahyang Tamperan lalu Rahyan Tamperan berputra Rahyang Banga. Dalam Cerita Parahyangan disebutkan bahwa Rahyang Tamperan adalah anak Sanjaya maka dengan demikian, tokoh Harisdarma pada K.406 adalah Sanjaya pada Cerita Parahyangan. Dari berita itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Harisdarma atau Sanjaya, Tamperan, dan Banga adalah hubungan darah. Sedang hubungan antara Harisdarma dengan Terusbawa adalah mertua dengan menantu. Terusbawa menurut K.406 ini tidak lain adalah tokoh Tohaan di Sunda menurut Cerita Parahyangan yang disebutkan menjadi mertua Sanjaya, Ia adalah penguasa Pakwan Padjajaran. Dan berita ini dapat diartikan bahwa masa pendirian Pakwan Padjajaran kira-kira sejaman dengan Galuh yaitu sekitar awal abad VIII M.
Pada tahun 723 M, ditemukan prasasti Canggal yang menceritakan kemenangan Sanjaya. Prasasti ini berbahasa Sansekerta, selain menyebut nama Sanjaya, prasasti ini juga menyebut Sanna dan Sannaha. Disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha, saudara perempuan raja Sanna. Sanna adalah anak Mandiminyak dari hubungan gelap dengan Pwah Rababu istri dari Rahyang Sempakwaja. Rahyang Sempakwaja adalah kakak sulung Mandiminyak, raja Galuh. Dari hubungan itu lahirlah Sanna, rupanya Mandiminyak dari pernikahannya dengan sang permaisuri tidak memiliki putra mahkota lelaki, maka sepeninggal Mandiminyak ia digantikan oleh Sanna. Sedangkan, Sannaha adalah anak dari Mandiminyak dengan sang permaisuri. Dalam Cerita parahyangan disebutkan bahwa Sanna menikah dengan Sannaha dan dari pernikahan itu lahirlah Sanjaya. Cerita Parahyangan menghubungkan tokoh Sanjaya ini dengan pusat kerajaan Galuh, karena disitu dikatakan bahwa Sanna berkuasa di Galuh. Pada suatu ketika, terjadi rebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu raja Sanna. Sanna bersama keluarganya dibuang ke gunung Merapi hingga Sanjaya dewasa dan meminta perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya Sanjaya bisa mengalahkan Rahyang Purbasora, sehingga dapat mengangkat dirinya sebagai raja di Galuh.
B.     Pusat kerajaan Pahajyan Sunda
Pada prasasti Sanghyang Tapak yang berbahasa Jawa Kuna dan hurufnya Kawi tahun 1030 M. dalam prasasti ini, nama tokoh yang disebut ialah Maharaja Sri Jayabhupati, sedangkan daerah kuasanya disebut Prahajyan Sunda. Prasasti ini juga menarik, karena gelar yang dipergunakan Jayabhupati ternyata sangat mirip dengan gelar raja Airlangga di Jawa Timur yang memerintah pada masa yang bersamaan pula. Tetapi, berdasarkan bahasa dan isi prasastinya itu sendiri, memang harus diakui bahwa tentulah ada hubungan tertentu antara Jawa Barat dan Jawa Timur pada waktu tersebut. Pernyataan Sri Jayabhupati berulangkali bahwa ia adalah “haji ri Sunda”, raja di Sunda, dapat dianggap sebagai usahanya untuk lebih meyakinkan orang akan kedudukannya sebagai raja Sunda. Prasasti berbahasa Sunda pada umumnya tidak memuat kutukan yang demikian mengerikan, tetapi berisi harapan bagi mereka yang melakukan apa yang dianjurkan dan memperoleh kebahagiaan, sedangkan yang melanggarnya, celaka. Prasasti yang dikeluarkan oleh Jayabhupati sebenarnya disebabkan karena ia sadar, dirinya adalah seorang yang berbudaya lain ditengah penduduknya yang berbudaya Sunda. Prasasti itu menyebutkan, bahwa pada tahun 1030 M Jayabhupati membuat tepek (semacam daerah larangan) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian dari sungai yang kemudian ditutup untuk segala macam penangkapan ikan. Sanghyang Tapak yang dimaksud pada prasasti itu, diduga tapak kaki yang ditemukan trepahat pada batu di puncak Gunung Perbakti, daerah Cicurug (Sukabumi).
Selanjutnya terbuka kemungkinan untuk menempatkan Sri Jayabhupati dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai suatu kesatuan. Hal ini berarti bahwa prahajyan Sunda, kerajaan Sunda yang diperintah oleh Sri Jayabhupati itu merupakan suatu babak saja dari seluruh kisah kerajaan Sunda, jadi tidak merupakan suatu Negara atau kerajaan tersendiri. Menurut Cerita Parahyangan Rakeyan Darmasiksa sama dengan tokoh Sri Jayabhupati pada prasasti Sanghyang Tapak, maka dapat diduga bahwa pusat kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Jayabhupati terletak di Pakwan Padjajaran, pusat kerajaan itu tidak lama kemudian berpindah lagi ke Kawali yang letaknya tidak jauh dari bekas pusat kerajaan Galuh pada masa Sanjaya.
Ditemukannya prasasti Horren menyebutkan bahwa penduduk kampung Horren merasa tidak aman karena ada kemungkinan datang musuh dari Sunda. Menurut Stutterheim, diduga prasasti ini berasal dari jaman Majapahit, maka sudah pasti prasasti itu berasal dari jaman setelah terjadinya peristiwa Bubat pada tahun 1357.
C.    Pusat Kerajaan Kawali
Pada jaman siapa pusat pemerintahan berpindah dari Pakwan Padjajaran ke Kawali, tidak dapat ditentukan dengan pasti. Menurut prasasti yang ditemukan di kampung Astanagede (Kawali) dapat diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan telah berada disitu. Dapat diperoleh keterangan bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali dengan keratonnya bernama Surawisesa.
Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini merupakan tokoh yang sama dengan Rahyang Niskala Wastu Kancana, pada prasasti Batutulis dan Kebantenan yaitu kakek Sri Baduga Maharaja. Hal ini memberikan kemungkinan, bahwa Prabu Wastu memerintah di Kawali setelah meninggal kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Rahyang Ningrat Kencana pada prasasti Kebantenan atau Rahyang Dewa Niskala pada prasastiBatutulis. Dalam prasasti Kebantenan disebutkan bahwa Rahyang Ningrat Kencana adalah tokoh yang digantikan oleh Susuhunan di Pakwan Padjajaran, hingga dapat ditentukan bahwa Susuhunan adalah Sri Baduga Maharaja yang disebutkan dalam prasastiBatutulis.
Menurut prasasti Batutulis Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan Rahyang Dewa Niskala di Gunatiga. Namun, berita ini bertentangan dengan Cerita Parahyangan yang menyebutkan bahwa tokoh Dewa Niskala atau Ningrat Kencana ini tidak disebutkan namanya, tetapi dikatakan sebagai Tohaan di Galuh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Sunda masih terletak di Galuh tepatnya di sekitar kota kecil Kawali sekarang.
Menurut Pararaton, di tahun 1357 M terjadi peristiwa yang dikenal dengan Pasundan-Bubat, suatu pertikaian politik antara kerajaan Majapahit dan Sunda. Dari Cerita Parahyangan sudah jelas bahwa yang memerintah ketika itu ialah Prebu Maharaja, karena dikatakan memerintah selama tujuh tahun. dapat diperkirakan bahwa ia mulai menjadi raja pada tahun 1350 M, bersamaan dengan naik tahtanya Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pertempuran Bubat, hamper seluruh pasukan Sunda gugur. Cerita Parahyangan memberitakan bahwa sang raja masih mempunyai seorang anak yang dikenal dengan Niskala Wastu Kencana pada prasasti Kawali, Batutulis, dan Kebantenan. Ketika terjadi peristiwa Bubat, Wastu Kencana masih kecil sehingga pemerintahannya sementara diserahkan kepada pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
Menurut Cerita Parahyangan dengan berpegang pada tahun 1579 yaitu tahun keruntuhan kerajaan Sunda, maka dapat ditentukan bahwa Hyang Bunisora memerintah selama 14 tahun, bukan enam tahun. adanya selisih tahun ini disebabkan karena perbedaan menafsirkan kata sadewisada yaitu lamanya masa pemerintahan raja Sunda terakhir Nusiya Mulya, yang seharusnya 12 tahun, menjadi 20 tahun. dengan demikian Hyang Bunisora memerintah pada 1357-1571 M.
Setelah dewasa Wastu Kencana menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Ia memerintah cukup lama yaitu 104 tahun, hal ini disebabkan karena Wastu Kencana selama memerintah selalu baik dalam menjalankan agama, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dibandingkan pemberitaan dengan raja-raja yang lain cukup menarik bahwa khusus tentang Prabu Niskala Wastu Kencana dalam Cerita Parahyangan menyediakan cukup banyak tempat dan isinya berupa pujian terhadap raja dan yang lain cukup satu atau dua kalimat saja.
Prabu Niskala Wastu Kencana memerintah selama 104 tahun (1371-1471 M), kemudian digantikan anaknya yang bernama Tohaan di Galuh ia memerintah selama tujuh tahun. ia memerintah tidak lama karena salah tindak jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.
D.    Pusat Kerajaan di Pakwan Padjajaran
Ningrat Kencana atau Tohaan di Sunda digantikan oleh anaknya sendiri yaitu Sang Ratu Jayadewata menurut Cerita Parahyangan ia memerintah selama 39 tahun. pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Padjajaran. Dalam prasati Batutulis disebut dengan nama Prabu Gurudewataprana, Sri Baduga maharaja Ratu Haji di Pakwan Padjajaran Sri Sang Ratu Dewata. Nama yang terakhir ini boleh dikatakan sama dengan yang sama-sama mengandung unsur dewata. Suatu hal yang menarik baik kraton Kawali maupun kraton Pakwan Padjajaran sama-sama mengandung arti sura, suatu hal yang masih dilanjutkan pada nama kraton Banten yaitu surasowan Surakarta atau Jayakarta suatu tempat yang sebelum jatuh ke tangan Islam bernama Sunda Kelapa.
Menurut Cerita Parahyangan, Sang Ratu Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masanya sudah ada penduduk kerajaan Sunda yang beralih agama. Berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), di Cimanuk kota pelabuhan yang sekaligus menjadi batas kerajaan Sunda disebelah timur banyak dijumpai orang Islam. Tetapi menyebarnya pengaruh Islam ini sudah diperhitungkan juga oleh Ratu Jayadewata.
Oleh berita Portugis pada tahun 1512 M dan 1521 M, Ratu Samiam atau Sanghyang dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka. Tetapi, ketika pada tahun 1522 M Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke Sunda yang beribukota di Dayo (kota), Ratu Samiam sudah berkuasa disana sebagai raja. Jika dikaitkan dengan Cerita Parahyangan, maka berarti bahwa Ratu Samiam nama lain dari Prabu Surawisesa, seorang raja yang gagah dan berani, yang menggantikan Sang Ratu Jayadewata dan memerintah selama 14 tahun (1521-1535 M). Ketika Prabu Ratudewata naik takhta masa pemerintahannya merupakan masa yang penuh derita.
Jatuhnya Sunda Kalapa, pelabuhan terbesar kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527 M, telah menyebabkan terputusnya hubungan antara pusat kerajaan Sunda yang terletak dipedalamn dengan daerah luar. Bala bantuan Portugis tidak pernah bisa sampai ke Dayo karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan. Jalan niaga kerajaan Sunda satu-persatu jatuh ketangan Islam, sehingga raja hanya bisa bertahan di pedalaman. Prabu Ratu Dewata yang menggantikan Surawisesa, malah hidup sebagai raja pendeta dan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya terjadi serangan-serangan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Raja yang kemudian menggantikannya Sang Ratu Saksi (1543-1551 M), adalah seorang yang kejam dan Cuma main perempuan saja. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya (1551-1567 M), ia malah memperindah keratin, mabuk-mabukan, berfoya-foya serta melupakan tugasnya sebagai raja. Maka pada masa pemerintahan Nusya Mulya, raja terakhir, Negara pun sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Islam pada akhir masa pemerintahannya.
2.      Struktur Kerajaan dan Birokrasi
Menurut catatan perjalanan Tome Pires dan sebuah naskah yang berasal dari tahun 1518 M yaitu, Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Maka berdasarkan bahan-bahan yang ada itu, barangkali dapatlah disusun struktur kerajaan Sunda pada masa itu sebagai berikut. Ditingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, raja dibantu oleh mangkubumi yang membawai beberapa orang nu nangganan. Disamping itu, terdapat pula putra mahkota, yang akan menggantikan kedudukan sang raja, jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Raja-raja daerah itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, tetapi mereka tetap mengakui raja sunda yang bertahta di Pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka. Dalam keadaan raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja dari daerah-daerah itu dapat dipilih untuk menggantikan kedudukan sang raja sebagai raja besar dan bertahta di Pakwan Pajajaran. Sementara itu, untuk mengurus masalah yang langsung berhubungan dengan perniagaan, dikeenam buah bandarnya, raja di wakili oleh syah Bandar, yang bertindak untuk dan atas nama raja sunda di daerah yang mereka kuasai masing-masing. Struktur kerajaan yang seperti itu, rupanya yang paling sesuai dengan kodrat Kerajaan Sunda.
3.      Kehidupan Masyarakat Sunda
A.    Masyarakat Ladang
            Menurut naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, memberikan keterangan cukup jelas tentang keadaan kelompok-kelompok masyarakat  kerajaan Sunda pada masa itu. Keadaan kelompok-kelompok itu tidak disebutkan berdasarkan katajenjang (hierarki) di dalam sistem birokrasi pemerintahan, tetapi pembagiannya berdasarkan fungsi yang dimiliki masing-masing kelompok itu, adanya kelompok ekonomi yang kemudian terbagi lagi kedalam beberapa golongan. Golongan tersebut dapat dibedakan seperti.
a). Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi yaitu : orang utas, pelukis, pandai tembaga, pandai mas, pandai gelang, pandai besi, pembuat wayang, penabuh gamelan, pembuat gamelan, penari, badut, dll.
b). Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara yaitu : mantri, penjaga keamanan, prajurit, tentara, pemerang, dan jabatan dibawah mangkubumi.
c). Kelompok rohani dan cendekiawan terdiri dari memen (dalang) yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna yang mengetahui berbagai macam lagu dan nyanyian, hempul yang mengetahui berbagai macam permainan, prepantun yang mengetahui berbagai macam macam carita pantun.
            Semua kelompok masyarakat yang disebutkan diatas, di dalam melaksanakan darma atau tugas masing-masing sesuai dengan fungsinya, disebut ngawakkan tapa di nagara ( melaksanakan tapa ditengah negara). Pada masa kerajaaan Sunda juga sudah terdapat orang-orang yang memperoleh penghasilan yang tidak disukai masyarakat umumnya. Pekerjan itu antara lain merogo, mencopet, merebut, merampas, memasuki rumah orang, dan membegal. Matapencarian seperti itu disebut cekap carut, sesuatu yang pantang diturut, dan hal-hal seperti itu disebut sebagai guru nista, yaitu hal-hal yang dianggap sangat nista atau hina.
            Kerajaan Sunda adalah sebuah negara yang umumnya hidup dari pertanian terutama dari perladangan. Bukti-bukti atau petunjuk tentang masyarakat ladang ini, ditemukan dalam sumber-sumber sastra tulis maupun sastra lisan. Kehidupan diladang akan membentuk  manusia ang berwatak masyarakat ladang. Ciri yang menonjol masyarakat ini ialah selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut memberi pengaruh terhadap bentuk bangunan tempat yang mereka tinggali. Masyarakat lading biasanya bertempat tinggal di ladangnya masing-masing, sehingga mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi tetangganya. Kerajaan Sunda mempunyai enam buah Bandar yang cukup ramai dan penting. Melalui keenam Bandar itulah dilakukan usaha niaga dengan daerah atau negara lain. Barang-barang dagangan yang merupakan sumber penghasilan kerajaa sunda pada umunya berupa bahan makanan dan lada.  Bandar-bandar kerajaan sunda oleh Tome Pires digambarkan sebagai berikut :
1        Banten , merupakan sebuah kota niaga yang baik, terletak di tepi sebuah sungai. Kota itu dikepalai oleh seorang syahbandar. Wilayah niaganya mencapai Sumatra dan Maladewa.
2        Pontang, merupakan sebuah kota yang besar, jalur niaga dan barang-barang yang diperdagangkan beras, makanan dan lada.
3        Cigede, juga sebuah kota yang besar. Perniagaan dari Bandar ini dilakukan dengan Priaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dll.
4        Tamgara, yang juga termasuk kota yang besar. Barang niaganya sama seperti Bandar-bandar diata.
5        Kalapa, merupakan kota yang sangat besar, adalah pelabuhan kerajaan Sunda yang terpenting dan terbaik. Hubungan niaganya juga lebih luas, antara lain dengan Sumatra, Palembang, Lawe, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura.
6        Cimanuk, merupakan pelabuhan kerajaan sunda yang paling timur, sekaligus menjadi batas kerajaan. Walaupun Bandar ini dikatakan sebagai sebuah Bandar yang besar dan cukup ramai, tetapi juga tidak dapat merapat. Di Bandar ini sudah banyak berdiam orang-orang  yang beragama islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih seorang yang beragama sunda.
            Agama dan Budaya
            Agama dan budaya yang berkembang di kerajaan Sunda sangat identik dengan kebudayaan hindu. Pengaruh hindu ini rupanya cukup kuat, sehingga di dalam naskahsawakandarma yang juga disebut serat dewabuda yang berasal dari tahun 1357 kasa atau 1435 M, masih kita temukan nama-nama para dewa agama hindu seperti Brahma, Wisnu, dan lain-lain. Menurut naskah Sanghyang Siksa, pada masa kerajaan Sunda yang berlangsung sejak awal abad 8 hingga  menjelang akhir abad ke 16 M, kehidupan keagamaan kerajaan Sunda itu bercorak Hindu-Buddha yang telah berbaur dengan unsur agama leluhur sebelumnya. Sementara hasil kebudayaan yang berkembang pada masa itu diantaranya seni sastra, lukis, ukir, gamelan, dan sebagainya.

sumber : http://nafhiloverz.blogspot.co.id/2014/06/kerajaan-sunda.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar